Tren Galau di Kalangan Anak Muda

Oleh : Fitria Helmanila

danbo-galau

Sedang asyik surfing, browsing, stalking, yang entahlah apa namanya di Internet dengan secangkir kopi panas. Betapa nikmatnya dunia ini, tiba-tiba kamar kosan langsung dibuka oleh teman saya…….. breeeekkkkkkk!!!!!, dan dia menangis langsung berkata,”fit, gua GALAUUUU!!!”. lalu dia cerita tentang kehidupan asmaranya yang kandas di tengah-tengah hanya karena sang lelaki tidak bisa menerima kebiasaannya yang beda dari yang lain, yang sesuatu banget, yang cetar membahana ulala badai kalo kata syahrini, yaitu kentut sembarangan. Seperti di TV yang memuat tayangan investigasi, sebut saja teman saya itu Bunga. Puncak berakhirnya adalah ketika bunga melakukan kebiasaannya tersebut di depan calon mertuanya. Sang lelaki itu malu dan langsung memutuskan hubungannya dengan si Bunga. Miris memang cerita tersebut. Kandasnya hubungan percintaan membuat Bunga mengurung diri di kamar dan GALAU.

Galau, galau, dan galau, seakan sudah menjadi tren yang melekat pada benak anak muda jaman sekarang, galau karena pacar tidak perhatian, galau karena pacar selingkuh dengan wanita lain, galau karena pacar tidak bisa memberikan hadiah yang dia suka, galau karena tidak bisa mengikuti potret kehidupan film FT* yang berbau hedonisme. Galau, bagaimana sebenarnya kata ini muncul, dari mana asalnya, siapa pencetus atau bapak galau di dunia?. Manusia selalu memiliki sisi yang melebih-lebihkan. Kalau dahulu ada seorang penyair terkemuka di Indonesia yang dijuluki sebagai ”Si Binatang Jalang”, yaitu Chairil Anwar (lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922), ia diperkirakan telah menulis 96 karya, termasuk 70 puisi. Puisinya menyangkut berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, ekstensialisme, hingga tak jarang multi-interpretasi. Sampai meninggalnya di Jakarta, tanggal 28 April 1949, karya-karyanya tidak pernah dipublikasikan, karyanya beredar setelah ia meninggal di atas secarik kertas murah. Kegalauan Chairil Anwar ia tuangkan di atas secarik kertas murah, dan tidak pernah dipublikasikan. Bagimana jika pada zaman itu Chairil Anwar sudah mengenal facebook dan twitter. Apa ada kemungkinan karyanya tidak lagi ditulis di atas secarik kertas murah, tetapi secarik facebook, atau secarik twitter. (wow muncul istilah baru ya secarik facebook, dan secarik twitter :D)

Pada saat saya searching di google, dan mengetik kata galau, terdapat 22.600.000 hasil kata galau di dalam mesin pencarian google.

SnapCrab_NoName_1980-1-23_0-55-43_No-00

Begitu eksisnya kata galau, terlebih jika saya melihat twitter dan facebook yang menyatakan kata galau. Siapakah yang belum pernah melontarkan kata galau? Bahkan setelah saya searching pula di mesin pencarian google dalam kategori gambar. Munculah karikatur, gambar yang menunjukkan kegalauan.

SnapCrab_NoName_1980-1-23_1-36-8_No-00

Menurut saya, tren galau di kalangan anak muda muncul ketika dunia perfilman yang dulu menampilkan kegigihan seorang pejuang, yang dulu menampilkan lagu-lagu kebangsaan setiap pagi, berubah menjadi sinetron melankolis yang menampilkan sisi kegalauan, kehidupan hedonisme. Bahkan mirisnya, pada saat saya masih kecil berumur lima tahun, balon ku ada lima, pelangi-pelangi merupakan lagu favorit di kalangan anak berusia lima tahun. Pertanyaannya adalah apakah lagu-lagu tersebut masih tetap eksis untuk anak umur lima tahun di jaman sekarang, apakah lagu balonku ada lima, dan pelangi-pelangi masih eksis di telinga anak umur 5 tahun jaman sekarang?. Atau, apakah anak jaman sekarang malah lebih senang mendengarkan lagu-lagu sedih, lagu-lagu patah hati?.

Coba ingat masa lalu, waktu negara ini masih dijajah oleh Jepang, Jepang yang menjajah selama lebih kurang 3,5 tahun dengan sistem tanam paksanya memperlakukan masyarakat Indonesia dengan tidak manusiawi, bahkan anak remaja pada jaman dahulu yang harus belajar di sekolah harus tetap mengikuti sistem tanam paksa. Rakyat Indonesia tersiksa lahir maupun batin pada saat itu. Dimasa itu, rakyat Indonesia bekerja dengan dipaksa, diperas untuk bekerja dan terus bekerja tanpa diimbangi dengan apa yang mereka dapatkan. Kaum muda pada jaman dahulu banyak yang kelaparan, dan kekurang vitamin B, sehingga banyak yang menderita penyakit beri-beri. Baju yang diberikan oleh Jepang pun adalah karung goni, padahal kita tahu karung goni terdapat banyak binatang-binatang kecil. Selain Jepang, Belanda juga termasuk negara yang menjajah Indonesia pada jaman penjajahan, Belanda menajajah rakyat Indonesia selama lebih kurang 350 tahun. Andai saja pada saat itu sudah ada media sosial facebook dan twitter dan kaum muda pada zaman dahulu bermental galau pada zaman sekarang, berapa banyak tweet dan status yang akan di update. Andai kaum muda pada zaman dahulu bermental galau, apakah yakin Indonesia akan mampu mengusir penajajah dari tanah air ini. Saya rasa tidak mungkin, karena kenyataannya kaum muda pada zaman dahulu bermental baja.

Lantas bagaimana dengan sekarang ini?, jika kaum muda pada jaman dahulu memiliki persoalan serius yang seharusnya dan sewajarnya mereka galau. Bagaimana dengan kaum muda jaman sekarang yang menghiasi sosial media dengan kata galau. Coba bayangkan bagimana ketika kaum muda jaman dahulu yang galau karena tidak bisa makan nasi hangat, kelaparan, kedinginan, dan penyakit berdatangan. Sedangkan kaum muda jaman sekarang galau karena tidak dibelikan tas bermerk oleh orang tuanya, galau karena tidak dibelikan handphone terbaru oleh orang tuanya. Coba bayangkan bagaimana ketika kaum muda jaman dahulu yang galau karena ingin mempertahankan tanah airnya. Sedangkan kaum muda jaman sekarang galau karena tidak bisa mengikuti potret kehidupan hedonisme yang ditayangkan oleh sinetron melankolis jaman sekarang.

Miris memang jika kita membandingkan kaum muda pada jaman dahulu, dengan kaum muda pada jaman sekarang. Saya mengakui kehebatan mental yang dimiliki oleh anak muda jaman dahulu. Mereka seakan memiliki energi positif dalam dirinya, bahwa setelah ada badai pasti ada pelangi. Setelah hujan maka munculah matahari. Jika kita kaitkan dengan Hukum kekekalan energi (hukum thermodinamika I) yang isinya bahwa energi tidak dapat dimusnahkan dan diciptakan, tetapi energi hanya bisa berubah bentuk. Kaum muda jaman dahulu seperti merubah energi negatifnya menjadi energi positif yang menyalurkannya kedalam semangat untuk memperjuangkan tanah air ini. Bagaimana dengan kaum muda jaman sekarang, energi apa yang dibentuk dan kelebihan energi tersebut disalurkan kemana?. Coba kita tanyakan pada diri kita masing-masing.

Sekian tulisan saya malam ini, selamat malam dengerin lagu ini dulu ya, sama diliat liriknya….. cekidot 😀