Pengaruh Globalisasi Terhadap Lingkungan

Oleh : Fitria Helmanila

122003_ilustrasi-globalisasi_663_382

Berbicara tentang globalisasi dan efeknya terhadap lingkungan, adalah pada saat saya mengikuti perkuliahan mata kuliah perancangan organisasi, yang mana di dalam kuliah tersebut, dosen saya memberikan wejangan kalau mahasiswa jaman sekarang harus mampu bersaing, harus mampu memiliki nilai jual untuk bisa bersaing dengan pihak asing. Karena apa? Ya karena sekarang sudah jaman globalisasi, semua orang bisa masuk ke Indonesia, pihak asing bisa masuk ke Indonesia dan bersaing untuk mendapatkan pekerjaan, atau bahkan menanam modal di Indonesia. Kalau kita Bahasa Inggris saja tidak bisa, bagaimana kita bisa bersaing. Kalau pengetahuan kita dan wawasan kita dibawah rata-rata, bagaimana kita bersaing. Apa mau kita di setir sama orang-orang luar yang datang ke negara kita. Jelas kata-kata dosen saya langsung menancap dalam-dalam di hati saya. Mengapa sampai menancap? Ya karena saya berpikir lebih keras apa yang akan saya bawa ketika saya lulus kuliah nanti, setelah saya 4 tahun (insya Allah mudah-mudahan amin tepat waktu! Doain! Hahahaha) menyelesaikan studi jurusan teknik industri. Apa yang menjadi nilai jual bagi diri saya, bagaimana saya bisa bersaing.
Atmosfir globalisasi semakin dirasakan oleh masyarakat Indonesia, bukan hanya kalangan mahasiswa seperti saya, tetapi juga kalangan bawah, pemodal kelas kecil kaki lima, buruh dan petani. Bagi para investor, globalisasi dinilai sebagai peluang untuk mengembangkan usaha-usaha baru. Bagi para mahasiswa seperti saya, globalisasi seperti sebuah persaingan dalam meningkatkan kualitas pribadi dan nilai jual. Bagi pemodal kelas kaki lima, globalisasi merupakan persaingan yang tidak seimbang, dan menurunnya penghasilan. Bagi pemimpin ummat, globalisasi berarti sebuah kecemasan terhadap dekadensi moral, munculah jaman dimana ajaran-ajaran agama mulai ditinggalkan. Lalu bagaimana jika globalisasi kita kaitkan dengan lingkungan? Pihak asing menanam modal di Indonesia dan mengeksploitasi sumber daya alam di Indonesia. Memang benar beberapa dari mereka memberikan sumbangsih nominal bagi pihak lokal, tapi apakah sebanding dengan eksploitasi sumber daya alam besar-besaran yang dilakukan mereka terhadap tanah air Indonesia. Bagimana pemerintah dalam membuat undang-undang yang bisa menguntungkan pihak lokal, dan tidak berpihak kepada pihak asing?. Bagi lingkungan, globalisasi merupakan sumber daya alam yang bertujuan untuk dieksploitasi sebanyak-banyaknya. Mari kita bahas pengaruh globalisasi yang berdampak kepada lingkungan.

1. Revolusi Hijau

16

Revolusi hijau adalah pengembangan pertanian yang tadinya menggunakan teknologi tradisional menjadi pengembangan pertanian dengan menggunakan teknologi lebih maju dan modern untuk meingkatkan produksi pangan. Revolusi hijau ini dimulai pada tahun 1950-an dan 1980-an. Program ini didukung oleh pemerintah dan Badan-badan Internasional. Gerakan revolusi hijau ini dikembangkan di Indonesia sejak rezim orde baru berkuasa. Tadinya revolusi hijau ini bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras. Hal ini didasari karena ada anggapan bahwa beras merupakan komoditas yang strategis untuk dikembangkan dari segi ekonomi, politik, dan sosial. Tak dipungkiri, gerakan ini menghantarkan Indonesia pada swasembada beras. Namun, ternyata gerakan revolusi ini tidak mampu menghantarkan Indonesia pada swasembada beras secara tetap, namun hanya mampu dalam waktu lima tahun, yaitu tahun 1984-1989. Revolusi hijau juga menyebabkan kerusakan ekologis yang belum bisa diperbaiki hingga sekarang ini. Produk dari revolusi hijau ini sarat dengan kandungan residu pestisida (endapan pestisida), sangat merusak ekosistem dan kesuburan tanah.

images (2)

Penggunaan pestisida juga menyebabkan hama menjadi kebal dengan pestisida karena penggunaanya dalam dosis berlebihan dan dalam jangka waktu yang terus menerus. Terjadinya hama kebal ini menyebabkan kematian musuh alami hama yang berfungsi untuk menyuburkan tanah. Penggunaan pupuk yang terus menerus juga menyebabkan habisnya zat-zat organik, merusak keseimbangan zat-zat makanan di dalam tanah, sehingga menimbulkan berbagai penyakit tanaman. Akibatnya, kesuburan tanah di lahan-lahan yang menggunakan pupuk buatan dari tahun ke tahun terus menurun. Pupuk tersebut menyebabkan ketergantungan terhadap lahan yang dipakaikan pupuk tersebut sebelumnya sehingga hasil pertanian mengandung residu pestisida (endapapan pestisida). Sedangkan, pestisida itu sendiri telah lama diketahui menyebabkan iritasi mata dan kulit, gangguan pernapasan, penurunan daya ingat, dan pada jangka panjang menyebabkan kanker.

2. Kasus Freeport

freeport

Kalau kita membaca kompas.com tanggal Sabtu, 26 November 2011, maka di kompas tersebut membahas kasus freeport secara mendetail. Intinya adalah kontrak antara freeport dengan negara Indonesia lebih memberatkan Indonesia. Kontrak tersebut dinamakan kontrak karya. Pada tanggal 5 April 1967, pemerintah Indonesia dengan freeport melakukan Kontrak Karya (KK) I. Lahan eksplorasi yang diserahkan pemerintah kepada freeport mencakup areal seluas 10.908 hektare untuk lama kontrak 30 tahun. Pada bulan Desember 1972, pengapalan 10.000 ton tembaga dari tambang Ertsberg dilakukan untuk kali pertamanya di Jepang. KK I sangat merugikan Indonesia. Akibat belum adanya ketentuan tentang lingkungan hidup saat itu, sejak dari awal Freeport telah membuang tailing ke Sungai Ajkwa sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan. Pengaturan perpajakan sama sekali tidak sesuai dengan pengaturan dalam UU perpajakan yang berlaku, misalnya, Freeport tidak wajib membayar PBB atau PPN. Tidak ada kewajiban bagi Freeport untuk melakukan community development. Akibatnya, keberadaan freeport di Irian Jaya tidak memberi dampak positif secara langsung terhadap masyarakat setempat. Freeport juga memperoleh kelonggaran fiskal antara lain, tax holiday selama 3 tahun pertama setalah mulai produksi. Untuk tahun berikutnya selama 7 tahun, Freeport hanya dikenakan pajak sebesar 35 %. Setelah itu, pajak yang dikenakan meningkat menjadi sekitar 41,75%.

PT.freeport-INDONESIA

Pada tahun 1995, Freeport baru secara resmi mengakui menambang emas di Papua setelah (1973-1994) mengaku hanya sebagai penambang tembaga. Jumlah volume emas yang ditambang selama 21 tahun tersebut tidak pernah diketahui publik, bahkan oleh orang Papua sendiri.Keuntungan yang sangat besar terus diraih Freeport, hingga Kontrak Karya I diperpanjang menjadi Kontrak Karya II yang tidak direnegosiasi secara optimal. Kontrak telah diperpanjang pada tahun 1991, padahal Kontrak Karya I baru berakhir pada tahun 1997. Kontrak Karya II ini tidak banyak mengalami perbaikan untuk memberikan keuntungan finansial tambahan yang berarti bagi pihak Indonesia. Perubahan yang terjadi hanyalah dalam hal kepemilikan saham dan dalam hal perpajakan. Sementara itu, besarnya royalti tidak mengalami perubahan sama sekali, meskipun telah terjadi perubahan jumlah cadangan emas. Penemuan emas di Grasberg merupakan cadangan emas terbesar di dunia. Dalam Kontrak Karya II, ketentuan menyangkut royalti atau iuran eksploitasi/produksi (Pasal 13), menjelaskan bahwa sistem royalti dalam kontrak Freeport tidak didasarkan atas persentase dari penerimaan penjualan kotor (gross revenue), tetapi dari persentase penjualan bersih. Penjualan bersih adalah penjualan kotor setelah dikurangi dengan biaya peleburan (smelting), biaya pengolahan (refining), dan biaya-biaya lainnya yang dikeluarkan Freeport dalam penjualan konsentrat. Persentase royalti yang didasarkan atas prosentase penerimaan penjualan bersih juga tergolong sangat kecil, yaitu 1%-3,5% tergantung pada harga konsentrat tembaga, dan 1% flat fixed untuk logam mulia (emas dan perak). Di dalam kontrak Freeport, besaran iuran tetap untuk wilayah pertambangan yang dibayarkan berkisar antara US$ 0,025-0,05 per hektar per tahun untuk kegiatan Penyelidikan Umum (General Survey), US$ 0,1-0,35 per hektare per tahun untuk kegiatan Studi Kelayakan dan Konstruksi, dan US$ 1,5-3 per hektare per tahun untuk kegiatan operasi eksplotasi/produksi. Tarif iuran tersebut, di seluruh tahapan kegiatan, dapat dikatakan sangat kecil, bahkan sangat sulit diterima akal sehat. Dengan kurs 1 US$ = Rp9.000,00 maka besar iuran Rp225,00 hingga Rp27.000,00 per hektare per tahun. Menyangkut pengawasan atas kandungan mineral yang dihasilkan, dalam kontrak Freeport tidak ada satu pun yang menyebut secara eksplisit bahwa seluruh operasi dan fasilitas pemurnian dan peleburan harus seluruhnya dilakukan di Indonesia dan dalam pengawasan Pemerintah Indonesia. Pasal 10, poin 4 dan poin 5, memang mengatur tentang operasi dan fasilitas peleburan dan pemurnian tersebut yang secara implisit ditekankan perlunya untuk dilakukan di wilayah Indonesia. Namun, tidak secara tegas dan eksplisit bahwa hal tersebut seluruhnya (100%) harus dilakukan atau berada di Indonesia. Hingga saat ini, hanya 29% saja dari produksi konsentrat yang dimurnikan dan diolah di dalam negeri. Sisanya (71%) dikirim ke luar negeri, di luar pengawasan langsung dari pemerintah Indonesia. Di dalam Kontrak Freeport, tidak ada satu pasal pun yang secara eksplisit mengatur bahwa pemerintah Indoensia dapat sewaktu-waktu mengakhiri Kontrak Freeport. Pun, jika Freeport dinilai melakukan pelanggaran-pelanggaran atau tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan kontrak. Sebaliknya, pihak Freeport dapat sewaktu- waktu mengakhiri kontrak tersebut jika mereka menilai pengusahaan pertambangan di wilayah kontrak pertambangannya sudah tidak menguntungkan lagi secara ekonomis. Melalui KK II, wilayah penambangan Freeport saat ini mencakup wilayah seluas 2,6 juta hektare atau sama dengan 6,2% dari luas Irian Jaya. Bandingkan dengan pada awal beroperasinya Freeport yang hanya mendapatkan wilayah konsesi seluas 10.908 hektare. Indonesia sewajarnya mendapat manfaat yang proposional dari tambang yang dimiliki. Hal ini bisa dicapai jika KK yang ditandatangani antara lain berisi ketentuan-ketentuan yang adil, transparan, dan memihak kepentingan negara dan rakyat. Ternyata pemerintah pada masa lalu, hingga saat, ini tidak mampu mengambil manfaat optimal.

3. Eksploitasi Pasir Laut

pasir

Kasus pengerukan pasir laut muncul setelah Singapura tidak juga berhenti meminta pasokan pasir laut. Bisnis pasir laut tampaknya memang menggiurkan pengusaha, terutama untuk daerah-daerah Indonesia bagian perbatasan. Eksploitasi tambang besar-besaran yang dilakukan enam perusahaan tambang di kawasan kepulauan Riau dan Batam mengancam kehidupan nelayan. Akibat dari eksploitasi tersebut lingkungan menjadi rusak, ekosistem terganggu, air laut di lokasi tangkapan hilang, lokasi sekitar penambangan menjadi berlumpur sehingga banyak nelayan-nelayan tradisional di kawasan penambangan pasir laut tersebut kehidupannya sangat memperihatinkan, dan terpaksa menganggur.

Our world

Globalisasi memang memiliki efek positif, salah satunya adalah kita mampu mendapatkan informasi dengan lebih cepat. Kalau tidak dengan globalisasi bagaimana saya bisa menulis artikel ini dan mempublish dengan jaringan internet yang cepat. Namun juga memiliki dampat terhadap lingkungan, selain ketiga contoh kasus tersebut, eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam Indonesia, yang berupa hutan yang disebut dengan illegal loging yang menyebabkan rusaknya hutan, padahal hutan merupakan paru-paru dunia. Eksploitasi minyak dan gas bumi yang merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, disamping itu eksploitasi minyak dan gas bumi bisa menyebabkan kebocoran pipa pada saat proses pengeboran, sisa minyak tersebut dapat tercampur dengan air laut dan mengganggu kestabilan ekosistem yang ada di laut. Bahkan untuk hal yang sangat vital, seperti air bersih, tak luput dari privatisasi tangan swasta. Menurut informasi, sebagian besar mata air yang ada di Indonesia, khususnya Pulau Jawa, sudah dikuasai oleh pabrik minuman air mineral.
Miris memang jika kita melihatn potret praktik eksploitasi terhadap Sumber Daya Alam tanah air kita, persaingan globalisasi menuntut kita untuk terus mengembangkan knowledge kita, agar tidak digerakan oleh pihak asing. Memang benar kita sudah merdeka, tetapi kita belum merasakan kemerdekaan sampai sekarang. Apa benar bangsa Indonesia masih terjajah oleh tekanan bangsa lain. Ketika globalisasi muncul, dan kerjasama antara negara yang memiliki power dengan negara yang masih berkembang. Yang lemahlah yang sulit untuk mendapatkan ruang gerak karena mengharapkan kerja sama yang positif, kontribusi dari negara yang memiliki power. Semoga negara kita tidak menjadi negara lemah yang tetap disetir oleh negara lain, yang tetap bergantung dengan negara lain. Semoga negara ini menjadi negara yang hebat dan mampu bertindak tegas oleh kepentinga-kepentingan yang tidak seimbang.

Sekian tulisan saya hari ini, selamat malam dan selamat beristirahat ! 